“Wahai bekas kekasihku, bagaimana khabarmu? Apa kamu sihat?
Sedang bagaimana kamu?”
“Hi, adakah aku mengenalimu? Mengapa pula aku dilabelkan
sebagai bekas kekasihmu? Kemungkinannya, kamu tersilap orang ya?”
“Tidak mungkin. Namamu dan nombor handphone-mu itu masih
segar didalam ingatanku”
“Jadi beritahu aku, siapa kamu? Aku masih lagi merasa yang
kamu ini tersalah menganggap aku ini bekas kekasihmu kerna setahu aku, bekas
kekasihku semuanya tlah lama mati.”
“Apa kamu lupa, sayang? Akulah yang akan selalu bawa kamu ke
taman bunga dan akan menyelitkan sekuntumnya di telingamu. Aku juga yang akan
selalu menyanyikan kamu pada tiap-tiap lewat malam sehingga ketiduranmu. Aku
juga yang akan selalu menghadirkan senyumanmu setiap hari, pada setahun yang
lalu. Dan aku juga yang akan selalu meninggalkan ka.... ..”
“Berhenti! Serasa aku, aku tlah mengingati kamu. Maaf ya,
aku kira kamu udah mati diranap janji-janjimu yang kemarin. Aku kira kamu udah
mati digilis serpihan-serpihan hatiku yang begitu terluka angkara tindakanmu
yang terlalu. Aku kira kamu udah mati dibunuh memori-memori basi tentang
diriku. Dan aku; masih mengingati segalanya tentang senyumanmu, tawamu,
egoismu. Dan setelah aku melakukan kira-kira, kamu itu....”
“Akhirnya, kamu mengingati aku juga. Tidak mengapa jika
semuanya hanya yang buruk-buruk saja. Aku masih tega mendengarnya. Aku cuma mau
kamu tau yang aku cinta kamu lebih dari selalu, sayangku. Aku sedang mengumpul
uang untuk kita mendirikan ru ..........”
“... kamu itu cuma masa laluku yang terpaling berdosa. Selamat tinggal, bekas kekasihku”