Dengan begitu perlahan, gadis itu
mempersiapkan diri.
Dia memakai gaun hitam kegemaran
bekas kekasihnya, menyanggul rambutnya dan memakai wangi-wangian; kelihatannya
anggun sekali.
Malam ini dia punya temujanji.
Temujanji bersama dirinya
sendiri.
Dia ingin ke tepi tasik toba dan
melepaskan segala siksa yang ada.
Setelah itu, dia ingin menari mengikut rentak
lagu yang terpaling sayu-- bersendiri.
Pabila bulan dan bintang-bintang
muncul nanti, dia akan menanyakan tentang hatinya yang telah mati.
Dia ingin menanyakan tentang
semangatnya yang hilang-- tiada.
Dia ingin menanyakan mereka adakah mereka terlihat
akan rerama putih yang selalu menemaninya di saat mereka berselindung disebalik
awan putih.
Gadis itu kemudiannya keluar dari
kamar dukanya dan kemudian berjalan perlahan menuju ke tasik toba kegemarannnya.
Tanpa disedarinya, dia sedang
diperhatikan saorang laki-laki yang patah hatinya, dan juga rapuh jiwanya.
Lelaki ini juga sedang di dalam perjalanannya ingin menuju ke tasik toba.
Barangkali mereka punya agenda yang sama.
Akan tetapi, tanpa disedari sang
laki-laki itu pula, tiba-tiba kedengaran satu suara datang berbisik di telinga
halusnya; “Lihatlah perempuan itu. Dia sedang memakai wangian yang berbau
rintihan. Bajunya juga bertampal-tampal. Rambutnya jatuh berguguran. Dan
kelihatannya--sangat kasihan. Lebih kurang aja seperti kamu yang sedang memakai
wangian duka, baju yang lusuh tiada berwarna dan rambutmu juga hampir tiada.
Pergilah kamu menemaninya menari di tasik toba kalian. Menarilah dan bicaralah
hal yang mendatangkan senyuman, meskipun kalian sedang tidak betah. Bicara saja
di dalam bisu yang terpaling indah.”